Pembunuh taruna Akpol divonis ringan, bisakah pendidikan calon polisi lebih humanis?

Pembunuh taruna Akpol divonis ringan, bisakah pendidikan calon polisi lebih humanis?
Akpol Hak atas foto Angling Adhitya/DETIKCOM Image caption Para taruna terdakwa pembunuh junior mereka di Akpol berkumpul dengan penasehat hukum mereka usai pembacaan vonis di PN Semarang, Rabu (13/12).

Hukuman enam bulan hingga satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Semarang untuk lima taruna senior yang membunuh junior mereka di Akademi Kepolisian (Akpol) dianggap tak akan bisa menghapus tradisi kekerasan di lembaga pendidikan calon polisi.

Rabu lalu Brigadir Taruna III Christian Admadibrata Sermumes divonis terbukti membunuh Brigadir Taruna II Mohammad Adam.

Christian dihukum satu tahun, dari total tiga tahun penjara yang diajukan jaksa penuntut umum. Padahal, pasal 170 ayat (1) KUHP tentang kekerasan mengakibatkan kematian yang dilakukan bersama-sama diancam penjara paling lama 12 tahun.

Tiga teman satu angkatan Christian dijatuhi hukuman enam bulan penjara, yaitu Gibrail Charthens Manorek, Martinus Bentanone, dan Gilbert Jordi Nahumury. Sementara Rinox Levi dihukum tujuh bulan penjara.

Pakar ilmu kepolisian yang juga bekas polisi, Bambang Widodo Umar, menyebut putusan tersebut tidak sebanding dengan persoalan kekerasan yang terdapat di Akpol.

Hak atas foto Getty Images Image caption Polri didesak mengadaptasi sistem pendidikan yang tidak militeristis karena polisi adalah lembaga sipil.

"Efek dari hukuman itu belum tentu menyelesaikan masalah yang lebih kompleks. Perlu metode, kurikulum, dosen, dan pengawasan. Banyak komponen untuk membentuk polisi yang humanis," kata Bambang melalui sambungan telepon, Kamis (14/12).

Vonis itu lebih rendah dibandingkan yang diterima AMR (16 tahun) siswa di SMA Taruna Nusantara, Magelang, sekolah yang bercorak militer karena didirikan perwira tinggi ABRI.

Maret 2017, AMR menjadi tersangka pembunuhan rekan satu sekolahnya, Krisna Wahyu Nurachmad. AMR dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara setelah dijerat pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

Sementara itu, Mabes Polri menyatakan menghormati putusan majelis hukum untuk para taruna yang telah mereka pecat itu.

Dihubungi terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Muhammad Iqbal berkata, kepolisian akan berupaya meniadakan tindak kekerasan di antara para taruna Akpol.

"Polri berbenah bahwa proses belajar-mengajar di Akpol harus mengedepankan kualitas. Kalau ada yang melakukan kekerasan, aturan akan ditegakkan," ujar Iqbal.

Mei lalu, visum et repertum yang dilakukan Polda Jawa Tengah menemukan fakta, Mohammad Adam tewas dengan lebam di dada. Luka itu diduga kuat muncul karena pemukulan.

Hak atas foto RENGGA SANCAYA/DETIKCOM Image caption Kapolri Jenderal Tito Karnavian mendesak budaya kekerasan di Akpol diakhiri.

Perkara pembunuhan Adam mendorong Kapolri Jenderal Tito Karnavian angkat bicara. Ia secara eksplisit menyebut adanya budaya kekerasan di antara para calon perwira kepolisian.

"Saya tegaskan ke seluruh taruna dan pengasuh supaya budaya kekerasan pemukulan tidak terjadi lagi," kata Tito kepada pers di Jakarta, Mei silam.

'Pendidikan ala militer'

Bambang Widodo Umar, yang pensiun dari kepolisian dengan pangkat komisaris besar, masuk Akbri tahun 1968. Kala itu Polri dan TNI berada dalam payung lembaga yang sama, yaitu ABRI.

Ketika itu, kata Bambang, pendidikan calon polisi lekat dengan kekerasan, meski tujuan akhirnya bukan melukai tapi menumbuhkan nilai-nilai tertentu.

"Waktu zaman saya masih ada (kekerasan). Tapi berbeda dengan saat ini. Dulu pendekatan kekerasan yang dibangun bertujuan untuk membangun sifat kepahlawanan dan berani bertanggung jawab," ujarnya.

Hak atas foto Getty Images Image caption Sejak tahun 1999, Akpol dipisahkan dari Akabri, seiring pemisahan Polri dari institusi TNI.

Menurut Bambang, kekerasan yang ada di Akpol saat ini cenderung berlatar emosi, balas dendam atau amarah. Esensi kekerasan di antara calon polisi, kata dia, tak lagi sama dengan eranya.

Seiring pemisahan TNI dan Polri, Bambang menyebut kepolisian sepatutnya turut melepaskan karakter militer dari lembaga pendidikan mereka. Ia menilai, demokratisasi negara seharusnya membuat Akpol lebih humanis.

"Pemahaman kepolisian terhadap arti sipil belum mendalam. Polisi masih merasa berbeda dengan warga sipil. Saya melihat gayanya mereka masih militer," kata Bambang.

Muhammad Iqbal, jenderal bintang satu di Mabes Polri yang lulus dari Akabri tahun 1991, mengklaim lembaga pendidikan kepolisian sejak lama telah meninggalkan budaya kekerasan.

Iqbal mengatakan, calon perwira polisi memang dididik secara keras, dalam konteks membangun kedisiplinan dan kondisi fisik.

"Dari dulu tidak ada kekerasan. Kekerasan bukan berarti body contact. Keras artinya disiplin atau olahraga pagi sehingga perwira lulusan Akpol selain punya intelegensia bagus, tapi juga punya fisik prima.

"Kalau fisiknya tidak handal, siapa yang mengayomi, nanti masyarakat lebih gagah dari polisi, Kalau ada penjahat nanti polisinya kabur," kata Iqbal.

Perombakan total

Menurut Bambang Widodo Umar, penghapusan budaya kekerasan di Akpol membutuhkan komitmen dari kepala kepolisian. Ia berkata, selama ini sejumlah kapolri sejak reformasi sekedar mengeluarkan imbauan-imbauan semata.

"Sudah pernah diinstruksikan untuk menghilangkan pendekatan kekerasan dalam pembinaan sehari-hari. Kalau hanya arahan saja, tanpa mengubah kurikulum dan pengajar, ya akan begitu-begitu saja," tuturnya.

Hak atas foto Getty Images Image caption Mabes Polri menyebut taruna Akpol dididik untuk tidak hanya pintar tapi juga memiliki kondisi fisik prima.

Bambang menuturkan, Polri seharusnya menerapkan model pendidikan penegak hukum yang dijalankan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.

Dalam konsep catur wangsa, hakim, jaksa, polisi, dan advokat memiliki kedudukan sejajar sebagai masyarakat sipil yang bertugas sebagai penegak hukum.

"Pendidikan polisi lebih baik diarahkan ke sana, supaya sifat dasarnya sama dengan jaksa atau hakim," kata Bambang.

Menurut catatan, kekerasan yang berujung kematian tidak hanya terjadi di Akpol, tapi juga pernah Akademi Militer, Institut Pemerintahan Dalam Negeri, dan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran yang dikelola Kementerian Perhubungan.

Dalam perkara yang menewaskan Mohammad Adam, Jenderal Tito mencopot Irjen Anas Yusuf sebagai Gubernur Akpol.

Tito juga memerintahkan Divisi Propam Polri menginvestigasi budaya kekerasan di lembaga itu, hal yang kata Iqbal masih berlangsung hingga saat ini.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.