Apakah pipa saluran air merupakan solusi krisis lahan perumahan?

Apakah pipa saluran air merupakan solusi krisis lahan perumahan?
Hong Kong Hak atas foto OPOD Image caption Rumah berbahan pipa beton dianggap solusi sementara atas persoalan pemukiman di Hong Kong.

Dengan luas yang mungil, kota metropolitan Hong Kong didiami jutaan orang dan sebagian dari mereka tinggal di tempat yang tak layak. Namun suatu rancangan arsitektur yang eksentrik sepertinya dapat memecahkan persoalan itu.

Artikel ini berasal dari sebuah episode Business Daily di BBC World Service, Living in a Box. Disampaikan oleh penyiar Manuela Saragosa. Untuk mendengarkan lebih banyak episode Business Daily silakan klik di sini. Diadaptasi oleh Sarah Keating.

Ada begitu banyak orang di Hong Kong, tepatnya 7,4 juta orang. Mereka berada di area yang luasnya hanya 1.098 kilometer persegi.

Seiring populasi yang meningkat, harga properti juga melonjak drastis. Akibatnya, banyak penduduk tak mampu menjangkaunya.

Fenomena itu mendorong arsitek lokal mengubah pipa air berbahan beton menjadi apartemen mungil, lalu menumpuknya satu sama lain di lahan kosong.

Dari kejauhan, pemandangan itu mungkin terlihat seperti lokasi konstruksi. Namun sejatinya ide itu merupakan solusi paling cemerlang untuk mengatasi persoalan properti di Hong Kong.

Permasalahan itu memang membutuhkan jalan keluar yang cepat.

Kajian tentang perumahan yang ekonomis mengarah ke tempat tinggal yang sangat minimalis, bahkan terkadang terlihat sebagai opsi yang ganjil.

Beberapa arsitek tengah bereksperimen pada tempat tinggal yang begitu kecil, yang dikenal dengan istilah 'rumah nano'.

Rumah ini lebih kecil dibandingkan satu ruang parkir. Luasnya hanya 36 meter persegi. Namun rumah ini terjual di harga Rp3,3 miliar. Harga yang mencerminkan keputusasaan warga Hong Kong terhadap tempat yang disebut rumah.

Arsitek asal Hong Kong, James Law, menyebut betapa kotanya tak ramah terhadap tempat tinggal mungil berupa apartemen dan bangunan komersial.

Gedung-gedung itu disebutnya memuat banyak partisi.

"Tak ada cahaya mayahari dan aliran udara yang layak. Sangat kecil, kompartemen seluas 15 meter persegi."

"Sebenarnya ini adalah cara para tuan tanah membagi lahan mereka menjadi unit-unit kecil karena warga Hong Kong tak dapat membayar ongkos apartemen," ujar Law.

Hak atas foto Getty Images Image caption Hampir selama satu dekade terakhir, masyarakat Hong Kong harus menghadapi biaya sewa rumah dan apartemen yang terus meningkat.

Tapi persoalan tersebut tidak selesai di tahap itu. Masyarakat Hong Kong sebelumnya menemukan solusi berupa rumah 'gua'.

Ribuan orang tidak memiliki pilihan untuk menyewa ruangan seluas empat meter persegi yang materialnya membuat tempat itu seperti gua.

"Rumah gua seperti ini dapat memuat kasur tiga tingkat. Untuk keamanan dan privasi, terdapat jala di sekeliling tempat tinggal itu. Jadi mirip seperti penjara," kata Law.

"Itu sungguh kehidupan yang mengerikan."

Dan faktanya, warga Hong Kong harus membayar kehidupan seperti itu. Tempat tinggal berpetak seluas 15 hingga 30 meter persegi itu harus ditebus ongkos sewa sebesar Rp5,8 juta sampai Rp11,7 juta per bulan.

Adapun, menurut Law, biaya sewa rumah pipa beton hanya Rp4,2 juta per bulan.

Hak atas foto OPOD Image caption Arsitek James Law menganggap pipa-pipa beton dapat ditumpuk satu sama lain sehingga menyerupai bangunan apartemen.

Arsitek seperti James Law berupaya mencari cara memanfaatkan sedikit lahan yang tersisa di Hong Kong. Ide yang muncul di benak Law adalah OPod alias rumah kecil berbahan pipa air berbahan beton.

Pipa-pia itu dapat ditumpuk satu sama lain dan ditempatkan di area perkotaan yang lowong. Idenya adalah cara cepat membangun blok apartemen.

"Pipa-pia pini biasanya digunakan untuk mengalirkan rembesan air hujan. Kami mendapatkannya dengan harga murah dari para kontraktor karena produksi yang berlebih setiap tahun."

"Daripada menyia-nyiakannya, para kontraktor menjualnya dengan harga rendah. Kami lalu memasukkan beberapa pilar yang bisa memuat perabotan, kamar mandi, dapur kecil dan sofa tempat tidur."

"Dalam seketika, anda bisa mempunyai rumah," kata Law.

OPod bergaya modern dan industrial yang didesain secara disesuaikan dengan keinginan penyewa.

Law mengakui, proyek OPod bukanlah solusi jangka panjang atas persoalan pemukiman Hong Kong. Dia memahaminya sejak awal.

"Tidak sekalipun saya berpikir OPod merupakan jalan keluar permasalahan ini karena sebenarnya banyak hal lain yang mendasari persoalan ini," ujarnya.

"Ilmu arsitektur tidak mungkin dapat memecahkan persoalan tanpa ilmu lainnya."

Hak atas foto OPOD Image caption OPod dilengkapi mebel sederhana yang memungkinkan masyarakat Hong Kong tinggal di rumah yang layak.

Terdapat alasan lain yang menguatkan anggapan keliru tentang OPod dan persoalan lahan di Hong Kong.

Law menyebut ketersediaan lahan yang minim tidak selalu berkaitan dengan harga properti yang tinggi.

"Hong Kong adalah kota yang sangat padat. Namun pernyataan bahwa kami tidak memiliki cukup banyak lahan jelas salah."

"Kami tidak mempunyai kawasan untuk pembangunan kompleks perumahan besar. Kami harus mereklamasi pantai. Jika anda menilik kota kami saat ini, anda pasti melihat banyak lahan kosong."

"Ada lahan di bawah jalan layang, di atas gedung-gedung, dan di antara bangunan yang kerap dibiarkan menganggur bertahun-tahun," ujarnya.

Law mendorong perencana tata kota memikirkan cara mengembangkan Hong Kong di masa depan, terutama agar rumah alternatif seperti OPod dapat berdiri di celah atau lahan yang tersisa.

Biaya hidup di Hong Kong terus meningkat namun tak sebanding dengan kenaikan upah. Banyak hal perlu dipikirkan untuk memecahkan fenomena itu.

Sebelum persoalan itu tuntas, masih akan ada warga Hong Kong yang memanjat tangga menuju rumah gua mereka pada malam hari.

Anda dapat membaca artikel ini dalam bahasa Inggris di BBC Capital, dengan judul Homes made of concrete tube could solve the housing crisis

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.